banner 728x90 banner 728x90
Opini

Kopi Pagi: Potret Sula Hari Ini

27
×

Kopi Pagi: Potret Sula Hari Ini

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mohtar Umasugi

Pagi ini, sambil menyeruput secangkir kopi panas di JS Coffee, saya merenung dalam diam. Aroma kopi yang harum seolah mengajak saya untuk berpikir lebih jernih, namun pikiran saya justru dipenuhi kegelisahan tentang kondisi Kabupaten Kepulauan Sula yang saya cintai. Dari balik jendela kafe, saya melihat hiruk pikuk kecil kehidupan kota Sanana, tetapi di balik itu ada kenyataan pahit yang tak bisa ditutupi: Sula hari ini sedang terombang-ambing, seperti kapal yang kehilangan nakhoda di tengah badai. Kita tidak hanya menghadapi satu masalah tunggal, tetapi krisis yang merambat ke segala arah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, bahkan moralitas publik. Krisis multidimensi ini jika tidak segera ditangani akan menyeret Sula semakin jauh ke jurang stagnasi dan keterpurukan.

Dalam beberapa minggu terakhir, saya menyempatkan diri turun langsung ke Pasar Basanohi dan Pasar Makdahi. Pemandangan yang saya lihat begitu menyayat hati: para pedagang duduk termenung di balik lapak dagangan mereka, menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Suasana pasar yang dulunya ramai kini terasa muram. Turunnya daya beli masyarakat begitu nyata.

Beberapa pedagang mengaku pendapatan mereka merosot hingga 40-50% dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari perut kosong yang semakin sulit diisi dan kebutuhan hidup yang kian sulit dipenuhi.

Harga bahan pokok seperti beras, minyak tanah, dan gula pasir terus merangkak naik, sementara pendapatan masyarakat tetap stagnan. Kelangkaan minyak tanah yang berulang kali terjadi menjadi misteri tersendiri. Dari hasil pengamatan saya, ini bukan sekadar masalah distribusi yang tidak lancar, melainkan ada indikasi permainan kartel yang sengaja mengendalikan stok demi keuntungan kelompok tertentu. Jika pemerintah daerah tidak segera melakukan intervensi dengan regulasi yang tegas dan pengawasan yang ketat, rakyat kecil akan terus menjadi korban dari permainan ekonomi yang tidak sehat ini.

Sektor perikanan yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi daerah pun menghadapi masalah serius. Para nelayan mengeluh tentang mahalnya biaya operasional, terutama bahan bakar, sementara harga jual ikan di tingkat lokal justru terus merosot. Pasar Ikan Sehat, yang diharapkan menjadi solusi strategis, nyatanya belum berjalan maksimal karena lemahnya tata kelola dan minimnya regulasi yang mendukung. Ironis, potensi laut yang begitu besar justru belum mampu mengangkat kesejahteraan nelayan kita.

Ketika krisis ekonomi dibiarkan, dampaknya pasti merembet ke sektor sosial. Di berbagai desa, saya mendengar keluhan tentang meningkatnya angka perceraian. Tekanan ekonomi yang berkepanjangan membuat banyak keluarga kehilangan stabilitas, bahkan ada yang terjebak dalam konflik rumah tangga yang sulit diselesaikan.

Data di Pengadilan Agama Sanana menunjukkan peningkatan jumlah kasus perceraian dalam dua tahun terakhir. Ini bukan sekadar angka, tetapi alarm yang memperingatkan kita bahwa struktur sosial Sula sedang rapuh.

Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlahan memudar. Mereka mulai melihat politik sebagai panggung janji kosong yang tidak pernah ditepati. Saya masih ingat bagaimana masyarakat begitu antusias menyimak debat publik Pilkada beberapa waktu lalu, berharap bahwa gagasan dan visi yang ditawarkan akan membawa perubahan nyata. Namun, setelah pasangan kepala daerah dilantik, sebagian janji itu seolah lenyap ditelan waktu. Akibatnya, muncul rasa skeptis bahkan apatisme politik yang kian meluas. Lebih mengkhawatirkan lagi, gesekan antarpendukung politik maupun antarwarga dalam perebutan sumber daya desa semakin sering terjadi. Ini pertanda bahwa kohesi sosial kita mulai terkoyak, sebuah gejala yang bila dibiarkan akan mengarah pada disintegrasi sosial.

Di balik krisis ekonomi dan sosial, terdapat akar masalah yang lebih mendalam: politik transaksional dan lemahnya tata kelola pemerintahan. Dalam Pilkada lalu, kita melihat bagaimana alih dukung politik partai tertentu, tentunya lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis daripada gagasan pembangunan yang jelas. Politik seperti ini hanya melahirkan pemerintahan yang rapuh karena legitimasi yang dibangun bukan berdasarkan kepercayaan publik, melainkan pada transaksi kekuasaan.

Lebih jauh, lemahnya tata kelola pemerintahan tercermin dari berbagai kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan anggaran daerah. Ketika uang rakyat tidak dikelola secara transparan dan akuntabel, maka program pembangunan hanya menjadi proyek seremonial tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa political will pemerintah daerah masih jauh dari harapan. Konsep good governance yang sering digaungkan hanyalah slogan tanpa implementasi.

Dua sektor fundamental ( pendidikan dan kesehatan) ini sering kali terabaikan dalam diskursus pembangunan. STAI Babussalam Sula, satu-satunya perguruan tinggi lokal, masih bergulat dengan keterbatasan sarana, tenaga pengajar, dan dukungan pemerintah yang minim. Padahal, kualitas sumber daya manusia adalah kunci untuk memutus rantai ketertinggalan Sula. Jika generasi muda tidak dipersiapkan dengan baik, maka kita hanya akan terus mencetak lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan global.

Di bidang kesehatan, cerita yang sama terulang. Banyak warga yang harus pergi ke Ternate, bahkan ke Ambon hingga ke Manado, hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Fasilitas rumah sakit daerah masih jauh dari standar, sementara tenaga medis sering kali kewalahan menghadapi pasien yang membludak. Ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum menjadikan pelayanan dasar sebagai prioritas utama.

Pada akhirnya, semua krisis ini bermuara pada krisis moral dan kepemimpinan visioner. Saya sering bertanya pada diri sendiri: mengapa Sula terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama dari tahun ke tahun? Jawabannya jelas namun menyakitkan—kita belum memiliki pemimpin yang benar-benar visioner, yang berani mengambil keputusan dengan nurani, bukan sekadar mengikuti nafsu kekuasaan. Selama politik masih didominasi oleh logika transaksional, rakyat hanya akan menjadi objek, bukan subjek dalam pembangunan.

Pemimpin visioner seharusnya mampu membaca tantangan global, merumuskan strategi pembangunan berbasis data, dan berani memotong rantai praktik korupsi serta kebijakan yang tidak produktif. Sayangnya, arah kebijakan Sula hari ini belum menunjukkan tanda-tanda ke arah itu.

Sula berada di persimpangan jalan. Jika krisis multidimensi ini terus dibiarkan, kita akan menghadapi stagnasi pembangunan jangka panjang. Festival Tanjung Waka, yang seharusnya menjadi simbol kebangkitan ekonomi kreatif, hanya akan menjadi seremoni tahunan tanpa dampak nyata jika tidak didukung oleh ekosistem ekonomi yang kuat dan kebijakan yang terukur.

Seperti peribahasa, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, kita harus berani menghadapi rasa sakit dalam proses perubahan demi meraih kesejahteraan. Dibutuhkan keberanian kolektif untuk membenahi tata kelola pemerintahan, memperkuat ekonomi lokal, memperbaiki pendidikan dan kesehatan, serta memulihkan kepercayaan sosial.

Kopi panas saya di JS Coffee pagi ini menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan. Jika kita tidak bergerak sekarang, Sula akan semakin tenggelam dalam pusaran krisis multidimensi. Dan ketika itu terjadi, yang tersisa hanyalah cerita penyesalan yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *