banner 728x90 banner 728x90
Opini

PPPK: “Antara Nasib Honorer dan Tuduhan Pemalsuan Dokumen”

49
×

PPPK: “Antara Nasib Honorer dan Tuduhan Pemalsuan Dokumen”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mohtar Umasugi

Pengumuman hasil seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Kepulauan Sula baru-baru ini memantik polemik yang cukup panas di tengah masyarakat. Bagi sebagian peserta, pengumuman ini seharusnya menjadi momen bahagia yang menandai akhir dari perjalanan panjang penuh perjuangan dan harapan.

Namun, kenyataannya, sebagian nama yang sebelumnya dinyatakan lulus oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) justru kemudian dibatalkan kelulusannya oleh pemerintah daerah melalui surat pengumuman pembatalan pertama Bupati nomor; 800.1.2.2/738/VIII/2025. Dan surat pengumuman pembatalan kedua Bupati nomor; 800.1.2.2/767/IX/2025.

Alasan yang disampaikan ke publik terdengar klise dan problematis: ada dugaan pemalsuan dokumen dan status tidak aktif sebagai honorer daerah. Di permukaan, alasan ini tampak logis karena negara tentu tidak boleh memberi ruang bagi praktik curang. Namun, jika ditelaah lebih dalam, langkah ini memunculkan banyak pertanyaan serius tentang transparansi, akuntabilitas, dan integritas proses rekrutmen PPPK di daerah kita.

Saya sepakat bahwa pemalsuan dokumen adalah pelanggaran serius. Dalam hukum administrasi negara, dokumen yang tidak sah jelas dapat menggugurkan kelulusan seseorang. Namun, pembatalan kelulusan harus berbasis bukti yang kuat dan proses hukum yang jelas, bukan hanya asumsi atau laporan sepihak.

Masalahnya, dalam kasus ini, publik tidak mendapatkan kejelasan tentang:

1. Siapa yang melakukan verifikasi dokumen sebelum peserta dinyatakan lulus?

2. Mengapa dugaan pemalsuan dokumen baru muncul setelah pengumuman resmi dari BKN?

3. Apakah ada audit independen yang memastikan bahwa peserta benar-benar bersalah?

Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, alasan pemalsuan dokumen berpotensi menjadi tameng untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu. Ini berbahaya karena menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan merusak integritas rekrutmen ASN/PPPK yang seharusnya berbasis meritokrasi, bukan lobi atau tekanan politik.

Alasan lain yang dipakai adalah status honorer yang sudah tidak aktif. Saya melihat ada kerancuan dalam penafsiran status “aktif” ini. Dalam konteks regulasi PPPK, PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK serta regulasi turunan lainnya menekankan bahwa peserta seleksi berasal dari tenaga honorer yang terdata resmi dalam database pemerintah. Namun, pertanyaannya:

1. Apakah seseorang yang pernah mengabdi bertahun-tahun, lalu terpaksa berhenti karena formasi tidak tersedia, otomatis kehilangan haknya untuk mengikuti seleksi?

2. Apakah pemerintah daerah telah memperbarui data tenaga honorer secara berkala dan transparan?

Di banyak daerah, termasuk Kabupaten Kepulauan Sula, manajemen data honorer masih amburadul. Ada tenaga honorer yang mengabdi belasan tahun, tetapi tidak tercatat dengan baik hanya karena persoalan administrasi yang sebenarnya bisa diperbaiki. Jika pemerintah menggunakan alasan “tidak aktif” untuk membatalkan kelulusan tanpa melihat konteks pengabdian dan proses yang ditempuh, itu sama saja dengan mengabaikan keadilan sosial.

Dalam kasus ini, saya melihat bukan hanya aspek hukum yang dipertaruhkan, tetapi juga nilai moral dan etika pemerintahan. Mereka yang mengikuti seleksi PPPK telah mengorbankan banyak hal: waktu, tenaga, bahkan biaya. Proses seleksi berbasis CAT yang diatur BKN adalah sistem yang dirancang agar objektif dan bebas intervensi.

Jika setelah pengumuman resmi masih ada pembatalan sepihak dengan alasan yang tidak transparan, maka publik akan melihat bahwa: pertama, kejujuran tidak dihargai. kedua, sistem seleksi negara bisa diintervensi kekuasaan. ketiga, masa depan seseorang bisa ditentukan oleh like and dislike, bukan kompetensi.

Ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang terus digaungkan pemerintah pusat. Dalam teori keadilan John Rawls, keadilan adalah fairness. Artinya, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama tanpa diperlakukan diskriminatif.

Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik adalah:

1. Membuka data dan proses verifikasi secara transparan.

2. Publik berhak tahu bagaimana proses verifikasi dokumen dilakukan dan siapa yang bertanggung jawab.

3. Menggunakan mekanisme hukum yang jelas. Jika ada dugaan pemalsuan, bawa ke ranah hukum pidana atau perdata. Jangan hanya membatalkan secara administratif tanpa putusan yang sah.

4. Perbaikan database tenaga honorer. Pemerintah daerah harus memperbarui data tenaga honorer secara berkala dan memastikan tidak ada yang dihapus atau diabaikan hanya karena alasan politis.

5. Pencegahan politisasi Rekrutmen ASN/PPPK harus bebas dari campur tangan politik. ASN/PPPK adalah pelayan publik, bukan alat kekuasaan.

Sebagai masyarakat Sula, saya mengajak kita semua untuk melihat persoalan ini dengan hati nurani. Jangan halangi nasib orang dengan dalih yang tidak jelas. Di balik setiap nama yang tercantum dalam daftar kelulusan, ada cerita panjang pengabdian, keringat, dan doa keluarga yang berharap kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Menghapus nama mereka dari daftar kelulusan tanpa dasar yang kuat sama saja dengan memutus harapan dan masa depan sebuah keluarga. Pemerintah daerah seharusnya menjadi pengayom dan pelindung rakyat, bukan justru menjadi pihak yang merampas hak-hak mereka.

Belajar dari kasus ini, saya berharap semua pihak, baik pemerintah daerah maupun BKN, memperkuat integritas sistem rekrutmen. Jika kita ingin membangun Kabupaten Kepulauan Sula yang maju dan berkeadilan, maka kita harus mulai dari hal yang paling mendasar: menghormati kejujuran dan kerja keras setiap orang.

Karena pada akhirnya, pemerintahan yang baik bukan hanya tentang pembangunan fisik, tetapi juga tentang memanusiakan manusia dan memastikan tidak ada yang terhalang dalam meraih nasib yang lebih baik. (**)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *